Surat Terbuka Untuk Anda

Malam ini hujan.

Kamu apa kabar? Yang jelas kita berada di bawah langit yang sama-sama hujan kan, jangan khawatir, jangan merasa dingin, Yogyakarta tak pernah sedingin desaku, di bawah gunung yang paling besar di Jawa Tengah itu. Jangan  baper juga karena hujan, karena biasanya anak zaman sekarang mainstream mengingat kenangan di saat hujan. Heuheu

Apa kau juga begitu? Kenangan apa yang sedang kau kenang saat ini?

Aku mengantuk. Tapi kusempatkan menulis. Diiringi rintiknya hujan yang dengan sabar bergantian untuk turun dari langit, dengan suara dengkuran teman-teman yang sudah merajut mimpinya dengan para kekasih.

Aku tak pernah bisa jauh memahami perasaan. Jika tidak kutulis maka biasanya akan lenyap bersama suara ketukan kaki. Aku tak pernah bisa mengakui, hingga pada akhirnya hilang begitu saja tanpa ada yang bisa kuperjuangkan. Aku tak pernah mampu bicara, dengan seonggok ketulusan, aku tidak bisa. Karena aku sendiri tak pernah mau berhenti berharap jangan sekarang. Aku buta apa itu ketulusan. Aku buta apa itu memiliki. Aku buta tentang kata banyak orang yang disebut dengan perasaan suci itu. Bullshit yaaa ternyata. Semua itu bulshiit. Sepertinya begitu.

Meski sampai saat ini aku tak tau sejauh mana perasaan itu meracuni kehidupanku. Bagiku, malam dan geirmis kecil memendam banyak rahasia, di antaranya adalah antara aku dan kamu. Di mana pelan jatuhnya air itu berpendar menjalar ke sudut-sudut rasa, aku tak pernah faham itu, Bahkan tak pernah mau faham. Namun, digelayut mata ini, aku ingin sampaikan apa yang mengganjal di ufuk timur. Sebelum matahari tebit akan terganggu, esok.

Kecewa.

Aku kecewa.

Hidup itu mengolah keluhan menjadi senandung, Kekasih …ya ..Senandung. Itu kata #TaliJiwo pemilik Republik Jancukers itu.

Ya, senandung, maka aku ingin mensenandungkan kecewa ini dengan tulisan, agar suatu saat bia dipelajari ditelusuri, bagian mana dari jiwa seseorang yang tak patut dikecewakan, mana yang tak usah berlebihan merasa dikecewakan. Semuanya memiliki probabilitasnya masing-masing kan ya.

Izinkan aku kecewa.

Aku bukan wanita yang mudah. Aku bukan wanita yang mudah, Sekali lagi aku bukan wanita yang mudah,

Tolong, lain kali beritahu aku, Apa yang ingin kau lakukan dengan diriku. Apa yang ingin kau dapatkan, Apa yang ingin kau katakan. Apa yang ingin kau dapatkan setelah bertemu denganku. Apa yang kau harapkan.

Lain kali, jangan pernah katakan “temuilah aku, aku tunggu”

Aku bukan wanita yang mudah, Sekali lagi bukan yang mudah, Meski sudah ada nama yang kutulis dulu sebelum adanya kamu, sebelum senja pertemukan kita dalam satu siluet, sebelum dan sampai sekarang aku merasakan kecewa, nama itu tetap ada. Setidaknya bertindaklah yang sungguh-sungguh jika inginkan aku sampai ufuk kehidupanmu.

Jika memang sudah ingin pergi, maka jangan pergi dengan ketidakpastian. Pergilah dengan kepastian bahwa kamu pasti akan pergi. Pergilah dengan jelas, jangan samar-samar dan kemudian pelan-pelan entah sudah ada di mana.

Lain kali, utarakan maksudmu dengan baik. Aku hanya berpesan.

Pejamkan matamu, gerimis turun lagi sepertinya. Tarik selimutmu lagi. Rasakan bagaimana tulisan ini menembus jantungmu, menyelinap di balik nadimu. Sekali lagi, aku bukan wanita yang mudah. Jika tidak mau bersabar, kamu pasti sudah tau jawabannya.

Meski (lagi) aku sudah terlebih dahulu berjanji menunggu seseorang, aku tidak pernah mengingkari aku merindukanmu, yang sering pada malam-malamnya memberi kekuatan untuk tetap terjaga dalam kerasnya pekerjaan malam hari. Seperti saat ini. Aku juga merindukanmu, sekaligus, maafkan aku, tolong kamu maafkan aku. Aku memaafkanmu.

 

Masuk tanggal 9 April 2016,

Yogyakarta, yang penuh dengan aroma rindu.

Nyiks