Mondok atau Tidak Mondok (?)
Yogyakarta pagi ini cerah, padahal beberapa hari kemarin mendung sayu. Cuaca Jogja akhir-akhir ini memang tak tentu. Pagi hari mendung, sayup-sayup manja menandakan hujan, kemudian siangnya terik tak terkira. Allahu, ini memang kuasa Tuhan, sebagai pengingat kita akan kebesarannya, sekaligus pengingat kita tentang cuaca yang sedang tak biasa-biasa saja.
Tulisan ini kemudian muncul di benak begitu saja. Hasil dari rangkuman peristiwa sepekan akhir ini. Mkacam-macam obrolan,kejadian,sampai perasaan. Tentang Tuhan yang tak kunjung menjawab, tentang doa yang lekas-lekas ingin diangkat, tentang balasan yang tak sabar lagi ingin diraih, tentang dia yang tak luput dari rindu. Rasanya begitu rasanya. Tentang lelah yang tak kunjung usai, tentang apa yang disebut tentang.
Serentetan kejadian dari 4 November, tentang demo besar-besaran menuntut Ahok oleh ribuan ummat Islam, pelantikan pengurus CSSMoRA UGM hari berikutnya, rapat pengurus pondok pesantren Al Barokah dan Panitia Khataman sekaligus KBIH Al Barokah, batal ngaji karena kucing kesayangan Abah Rosim (-red Luna & Inez), rapat Dept Medinfo CSSMoRA UGM, TM Makrab yang batal, sampai persiapan Makran oleh panitia yang amburadul, dan akhirnya makrab pun usai menyisakan banyak cerita maupun kenangan. Ditambah musyker CSSMoRA dan serentetan tugas seorang sekretaris acara hajatan besar Pondok, khotmil Qur’an. Kemudian sifat egoisku betul-betul muncul tiba-tiba,antara ekspresi lelah dicampur dengan PMS. Hufftt :””
Rasanya, aku benar-benar sedang diuji perasaannya. Sampai-sampai aku tak pernah mengurusi urusan tugas akademik, semuanya berantakan. Dan bahkan aku sempat berfikir, aku gagal di ujian yang Allah beri saat ini. Pertanyaan yang kemudian tertinggal adalah, jika memang ini gagal, akankah bisa aku ulangi untuj memperbaikinya?
Banyak yang ingin diceritakan, tapi pada intinya ini adalah sebuah pilihan. Pilihan bersyukur kemudkan melanjutkan, atau mengakhiri kemudian berhenti selamanya. Ini perkara bagaimana waktu terasa sangat berharga, istirahat adalah hal paling istimewa dengan hadiah atau makanan selezat apapun.
Ntah ini perkara mengatur waktu yang salah dari diriku sendiri, atau memang waktuku benar-benar sedikit sehingga aku harus memilih mana yang harus aku lepaskan dan mana yang harus kupertahankan. Bukan dengan cara mengambil semua yang aku inginkan, nafsukan, dan impikan. Karena sejatinya yang kita inginkan tak selamanya adalah yang terbaik. Barangkali di sana ada campur tangan setan dan sekutunya untuk menggandakan nafsu kita berlipat-lipat. Wallahua’lam
Mondok atau tidak mondok?
Dan sampai saat ini aku masih berfikir akankah kehidupan dan waktuku akan lebih teratur jika aku melepaskan pondokku sekarang? Melepaskan diri dari belenggu peraturan yang terkadang sangat strik dan tanpa peri kemanusiaan. Yang terkadang tanpa toleran mengambil alih hak-hak yang semestinya diberikan.
Atau,
Akankah sebaliknya? Jika aku tetap mempertahankan ke-pondok-anku. Waktuku akan habis untuk hal-hal positif. Yang jelasnya tak melulu soal duniawi melainkan juga untuk urusan ukhrawi ku. Menarik bukan? Hidup hanya sementara dan pasti akan sangat menyesal jika aku habiskan wakuku hanya demi perkara dunia.
Menarik?
Namun, aku khawatir jika aku memilih bertahan, bukan hal produktif yang aku nikmati tapi waktu yang sia-sia terbuang hanya untuk meratapi lelah, dan selamanya akan merenungi nasib. Menahan keinginan batin untuk turut bersenang-senang dengan teman-temanku yang sudah lepas dari pondok. Bahkan aku khawatir fikiran ini akan berlanjut menyisakan kefrustasian yang tak berujung.
Tuhan,
Jika memang pilihan bertahan itu yang terbaik, maka kuatkanlah aku yang tak memiliki hati seperti ulama-ulama,wali,bahkan nabi.
Yogyakarta,
28 Nov 2016
Perpustakaan Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Gadjah Mada
Leave a Reply