KONTEMPLASI

Jika kau tak dapatkan yang kau impikan bukan berarti, kau ‘tlah usai~

Suara Isyana Saraswati dalam lagu “Untuk Hati yang Terluka” masih terngiang, terutama pada lirik di atas.

Hidup itu ternyata sulit, aku baru menyadarinya.
Menjadi dewasa pun ternyata sangat berat, aku sempat menyesal kenapa buru-buru menjajaki fase ini.
Dulu, kupikir semuanya akan baik-baik saja.
Kupikir hidup hanya sebatas siklus, dulu kecil kemudian beranjak menjadi remaja, dewasa, tua, hingga kemudian menjadi anak kecil kembali (saat tua). Semuanya sekedar permainan waktu, aku tak harus khawatir.

Aku pikir, gagal memang bukan masalah besar. Aku terlanjur percaya diri, seakan menantang keegoisan pribadi saat aku tau aku punya kewajiban “MENGABDI” dengan waktu yang tidak sebentar. Lucu sekali, giliran mengalaminya sendiri aku jadi panik, tidak siap dan bahkan ingin mundur saja.

Aku pikir, aku cukup kuat memikul beban kecemburuan terhadap teman-teman yang mulai merintis karirnya dengan cemerlang. Yang mencerminkan lulusan kampus terbaik negri ini dengan kecakapannya. Aku pikir aku cukup tenang menghadapi siklus yang kuterka itu. Tenang, ini hanya masalah waktu. Tapi ternyata tak cukup mudah memikulnya. Atau setidaknya mengakui, aku tak seberuntung dan se-membanggakan para lulusan kampus terbaik itu.

Aku tak cukup kuat, rapuh, dan patah berkeping saat kutahu masa depanku terasa terhenti. Serasa usaha 4 tahun belajar susah payah di kampus yang katanya terbaik di negeri ini sia-sia sudah. Dulu aku banting tulang menerima kenyataan bahwa jurusan yang aku dapat tidak seperti yang aku bayangkan. Jauh, jauh sekali. Seperti kerasnya perjuangan dulu kuliah dengan praktikum seabgreg dan masih ditambah kegiatan pondok sia-sia tidak berguna apa-apa. Apakah memang demikian? Meski naif kuakui, jika ini hanya permulaan, niscaya semuanya akan kembali pada waktu yang tepat di mana aku merasa digunakan maupun berguna bagi keilmuan yang sudah kukejar selama 4 tahun belakangan.

Menonton NKCTHI (Nanti Kita Cerita Tentang Hari ini) membuat seluruh sel-sel dalam tubuhku menggigil ketakutan, sedih, hingga merasakan desir marah yang ingin diluapkan. Betapa relate cerita yang disuguhkan secara privat dengan diriku sendiri. Bukan benar-benar persis, penafsiran dari setiap makna dalam scene film tersebutlah yang membuatku lagi-lagi tertegun, bagaimana bisa aku serasa melihat duniaku sendiri ada di layar bioskop.

Aku seperti Awan, anak terakhir yang selalu dimudahkan dalam segala urusan hidupnya. Perkara kecil yang menimpa hidupku sudah biasa menjadi masalah bagi keluarga. Dulu, kufikir, memang inilah fungsi keluarga, akan selalu ada saat aku tertimpa masalah. Meski masalah itu hanya sebatas aku tidak bisa menemukan buku tugas matematika saat harus kubawa ke SMP kala itu. Aku selalu memasrahkan urusan memilih kepada ayah, ibu dengan segala pertimbangan dan masukan dari kakak-kakak. Aku terbiasa merengek meminta dijemput, atau dikirimi uang tambahan kepada kedua kakakku, jika uang jajan dari orangtua habis belum saatnya.

Aku seperti Awan, yang tumbuh sebagai anak yang paling pintar secara akademik di keluarga, masuk SD, SMP favorit, hingga masuk sebuah pondok dengan program unggulan, dan kuliah di PTN favorit negeri ini, lulus dengan IPK memuaskan, dengan beasiswa.

Kini, aku telat menyadari hidup terlalu rumit untukku. Mungkinkah aku belum siap?

Hidup terasa mudah bagiku untuk dijalani, meski tidak semulus yang teman-teman bayangkan juga. Selama ini yang kukhawatirkan dan kuanggap masalah hanya sebatas masalah pribadi perihal hati saja. Misal, keinginan nge-kos dari pada mondok lagi, atau hal-hal seperti kelelahan berkepanjangan karena tugas-tugas kuliah. Pada akhirnya, di usiaku 23 tahun aku menyadari, hidup tak semudah yang dibayangkan atau yang dilihat di story instagram.

“Sabar, satu per satu”

Kata Kale pada karakter Awan di film NKCTHI. Aku tersneyum mengingatnya, setidaknya seperti berbicara padaku untuk jauh lebih bersabar juga.