Kemanakah Kau Garam?
Garam sudah layaknya makanan pokok di Indonesia. Ribuan ragam industri kuliner memerlukan garam, jutaan ibu rumah tangga membutuhkan untuk meramu masakan di rumahnya, ribuan ton garam diperlukan untuk memenuhi produksi bermacam industri pangan skala besar. Lalu bagaimana ketika garam mulai langka di negeri ini?
Indonesia sedang darurat garam! Itulah warning yang muncul selama kira-kira dua pekan terakhir menanggapi berita kelangkaan garam yang terjadi di seluruh negeri. Faktor cuaca dituduh sebagai penyebabnya. Ribuan hektar tambak garam katanya dapat dipastikan gagal panen karena cuaca buruk tidak menentu. Akibatnya pasokan garam dari petani pun tidak ada, gudang garam habis sebelum waktunya untuk menutupi permintaan pasar yang melonjak. Total kebutuhan garam untuk konsumsi dan industri mencapai 3,4 juta ton/tahun. Sementara produksi dalam negeri baru mencapai 1,8 juta ton. Kalaupun dapat didapatkan harga garam di pasaran pun melonjak drastis hampir 100%. Ibu-Ibu menjerit, bagaimana bisa garam lebih mahal dari beras? Mereka tidak bisa membiarkan keadaan ini membuat masakan di rumahnya menjadi hambar.
Para pengusaha industri pangan, mendesak pemerintah membuka kran impor garam agar harga garam kembali stabil. Seperti dikutip dari laman kumparan.com, Kementerian Perdagangan akhirnya memberikan izin bagi PT Garam (Persero) untuk mengimpor 75.000 ton garam konsumsi dari Australia. Targetnya, impor gelombang pertama akan masuk awal Agustus 2017 ini. Hal ini diharapkan harga garam konsumsi bisa segera turun. Pro kontra pun muncul menyusul pernyataan Menteri perdagangan, Enggartiasto Lukita bahwa akan menimpor garam untuk menutupi kelangkaan yang terjadi.
Apakah impor jadi jalan keluar satu-satunya?
Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti mengungkapkan kejanggalannya kok bisa negara Indonesia dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia malah harus impor garam. Angka impor garam industri kita telah mencapai lebih dari 2 ton. Menurut beberapa laporan pula garam industri hasil impor itu pun memasuki pasar garam konsumsi yang jelas seharusnya itu ranahnya petani garam lokal. Alhasil merugilah petani garam lokal karena kalah saing harga dan kualitas dengan garam impor. Menteri dengan penampilan nyentrik dan bicaranya yang blak-blakan itu menuding adanya permainan kartel garam oleh beberapa pengusaha.
“Bisa jadi. Akhirnya mereka menjadi trader, separuh lebih bocor ke pasar konsumsi. Dari dulu impor garam industri rata-rata per tahun 2 juta ton namun bocor ke pasar garam konsumsi. Garam ini masuk pada saat petambak panen dan harga petambak jadi jatuh,” kata Susi Pujiastuti seperti dikutip oleh tempo.co dalam siaran resmi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada Selasa, 1 Agustus 2017.
Secara umum, kebijakan impor memang baik. indonesia sudah mengatur kebijakan impor garam dari dulu khusus untuk garam industri yang memang membutuhkan jenis garam tertentu. Pemerintah bolehkan itu dan hanya melalui jalur impor dari PT. Garam. Yang jadi masalah adalah ketika permainan pengusaha itu muncul, impor yang melebihi batas maksimal yang dibolehkan dan akhirnya bocor ke pasar garam konsumsi tepat saat penen garam tiba. Harga garam lokal pun tergilas. Jika memang solusi impor menjadi solusi terbaik, maka sudah menjadi tugas dan wewenang KKP untuk mengawasi setiap kegiatan impor garam agar tidak terjadi hal-hal yang sebelumnya terjadi atau malah kartel garam yang semakin merajai pasar.
Kata Susi, keterlibatan KKP dalam hal mengimpor garam terkait yaitu untuk memberikan rekomendasi berapa jumlah garam yang haus diimpor, serta wkatu yang tepat agar dapat diatur sesuai kebutuhan sehingga garam petani tidak anjlok saat panen tiba. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan Nelayan, Pembudidaya dan Petambak Garam, membuat KKP memiliki kewenangan untuk mengawasi impor garam. Berdasarkan UU ini, KKP memberikan rekomendasi volume, jenis, dan kapan impor garam boleh dilakukan.
“Kalau ada perusahaan industri diberi izin untuk kepentingan industrinya tapi dijual ke konsumen, laporkan! Kita monitor dan awasi bersama. Mudah-mudahan untuk tahun panen ini harga hasil panen petani tidak jatuh. Kita perlu dukung pengawasan importir,” tegas Susi
Stop! Salahkan cuaca
Cuaca memang menjadi faktor penentu keberhasilan tambak garam menuju panen. Namun, rasanya tidak adil jika hanya menyalahkan cuaca sedangkan sampai saat ini petambak garam tradisional dibiarkan dengan ketradisionalannya menambak garam tanpa bantuan teknologi apapun yang mampu menanggulangi ancaman gagal panen karena cuaca. Bagaimanapun kita tidak bisa menyalahkan cuaca karena itu memang faktor alam, yang perlu dilakukan adalah cara penanggulangan yang tepat dan itu perlu keterlibatan dan pendampingan ekstra dari pemerintah.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Abdul Halim seperti yang dilansir dalam laman tirto.co.id berharap pemerintah memikirkan solusi jangka panjang soal kelangkaan garam ini. Salah satunya dengan cara memperbaiki sarana dan prasarana di tambak garam. Selain itu, penggunaan teknologi guna meningkatkan produktivitas tambak garam rakyat, baik dari aspek kuantitas maupun kualitas, misalnya penerapan teknologi prisma dan teknologi ulir filter (TUF) geomembran.
Saat ini pemerintah pusat melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) musim produksi tahun ini telah memberikan bantuan teknologi geomembran kepada petambak garam di Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur. Setikar 15 hektare lahan tambak garam sudah menggunakan teknologi geomembran ini. Perluasan dan penambahan jumlah geomembran untuk petambak perlu sekali ditingkatkan. Selain mampu kebal dengan tantangan cuaca, kualitas garam yang dihasilkan petambak lokal pun dapat bersaing di pasar internasional, setidaknya tidak kalah dengan garam impor. Semoga saja, kita berdoa bersama-sama.
Leave a Reply