A Brief Memories with Abah Rosim

Malam itu di akhir Januari 2019, usai sholat maghrib aku memutuskan untuk tidur. Tidak seperti biasanya, mungkin ditambah dengan kelelahan lembur di lab untuk skripsi beberapa hari sebelumnya membuat tidur saat itu sangat lelap, tanpa mimpi. Apalagi setelahnya tidak ada ngaji, bebas lalu kumanfaatkan untuk benar-benar istirahat mempersiapkan bekal lembur lab lagi esok harinya. Tanpa ada tanda-tanda sebelumnya, firasat jelek pun tidak dirasakan, atau sebuah kabar buruk bahwa Abah Rosim kambuh lagi sakitnya pun tidak terdengar. Aku sendiri, mungkin bagi semua santri malam itu seperti malam-malam tenang biasanya, saat Abah sedang sehat.

Bel berbunyi, katanya suaranya sangat kencang. Sayangnya tidurku sangat pulas, tak dengar apapun. Aku juga tidak sendirian, teman sekamarku pun sama. Kita berdua nyaman dan terjaga di bawah selimut meski tidak berkasur. Ditambah, aku baru 1 bulan terakhir menghuni komplek baru di pesantren ini. Komplek yang lokasinya paling depan dengan jumlah penghuni paling sedikit. Setiap kamarnya hanya untuk maksimal 3 santri. Beruntungnya, aku diminta pindah ke komplek tersebut oleh Bu Nyai untuk menjadi pengurus di sana. Kondisi komplek yang sangat strategis untuk istirahat, malam itu benar-benar kondisi setengah matiku sempurna.

DOR DOR DOR. Pintu digedor dari luar. Aku dan temanku sekamar terperanjat. Kaget bukan main. Cahya, adik kelas yang juga tetangga kamar berteriak memanggil namaku panik. “Mba Anik, Mba Ihwa, ayo mbak kita keluar, cepet Cepet!”

Teman sekamarku, Mbak Ihwa lekas membukakan pintu sambil terus menyebut astaghfirullah karena kaget. Aku berusaha mengumpulkan nyawa secepat mungkin sambil dalam hati “Jane opo tho Cahya iki”

Tak kusangka, di luar selain Cahya, ada Vina dan Isti yang juga terlihat panik. Anehnya mereka tidak mau bilang ada apa. Mereka hanya jawab takut. Suasana jadi tegang, aku yang baru saja bangun tidak tahu apa-apa, ide yang muncul di otakku untuk suasana seperti itu hanya cerita horror yang mungkin mereka saksikan di komplek tersebut. Maklum, sebelumnya juga sering kita menemui kasus paranormal experience di komplek baru tersebut. Wajar aku berfikiran seperti itu.

“Ada setan?’ tanyaku polos.

Mereka menggeleng sambil menyuruhku dan mba ihwa untuk cepat-cepat bergegas dan pergi ke aula pondok. Aku tanya ada apa emang? Mereka menggeleng tidak tahu tapi wajah menunjukkan sesuatu yang tidak beres.

“Semua santri udah kumpul di Aula mbak, Cuma kita yang belum. Sebenarnya aku gatau ada apa, tapi kayaknya tau, Cuma aku takut bilangnya” Kata Cahya yang diikuti dengan anggukan cemas dari Vyna dan Isti juga. Aku semakin bingung. Perasaanku mulai tidak enak, ada yang tidak beres tapi aku juga tidak berani menebak. Takut salah juga takut benar terjadi.

DENIAL

Satu komplek baru yang baru memiliki anggota sedikit itu akhirnya ke Aula. Sampai ke aula suasana sangat hening beda dengan biasanya jika ada acara di Aula maka akan ramai dengan lantunan sholawat atau puji-pujian dari mujahadah. Aku sudah tidak kebagian tempat duduk di dalam, penuh. Semua santri menununduk. Aku mendekat ke arah seorang santri dan bertanya, “Ada apa? Disuruh baca apa?”

Santri itu mendongak, kulihat matanya sudah sembab dan merah. Dia menjawab sambil berbisik hampir tidak kudengar, tapi aku tahu jawabannya adalah sholawat. Tanda tanya besar kembali muncul. Tapi apa sholawatnya? Untuk apa?

Pertanyaan itu terus muncul untuk mendukung sikap denial yang terjadi pada diriku. Meski saat itu sebenarnya aku sudah menebak apa yang terjadi. Aku berpindah ke utara aula. Aku ikut duduk di selasar utara aula yang kebetulan masih kosong sambil menuruti santri yang kutanyai tadi, membaca sholawat. Aku pilih sholawat fatih, meski tidak tau persis kenapa kupilih sholawat itu, reflek hanya sholawat itu yang bisa keluar dari mulutku.

Jantungku mulai berdebar karena kulihat semakin banyak yang menangis.

“Ya Allah, jadikan prasangkaku tidak benar” Aku berdoa dalam hati, meski rasanya sudah percuma.

“Mbaaaaakkk~”

Seorang juniorku di kepengurusan, yang sering kupanggil Wawul memelukku sambil tak bisa menahan derasnya air mata. Aku semakin mengerti ada apa, tapi aku sama sekali tidak mau dengar.

DENIAL, ya aku masih denial.

Aku menepuk-nepuk pundaknya pelan, menenangkan. Meski aku sendiri tidak tenang. Aku tidak menangis. Sama sekali, aku sibuk meyakinkan diri sendiri ini semua tidak benar.

“Mbaaaakk, Abah Mbaaak, Abah” Kata Wawul sambil terus terisak.

“Sudah Wul!” Jawabku sambil menggelengkan kepala, bermaksud tidak mau dengar apa-apa lagi tentang apa yang sebenarnya terjadi. Tapi anak ini sepertinya tidak faham, ia terus cerita sambil terus terisak.

“Mbak, Abah udah gak ada. Gimana ini?”

Aku diam. Kenapa bisa? Abah sudah sembuh! Pasti ada yang salah. Belum pasti kabarnya. Tapi gimana kalau benar? Bagaimana kalau memang Abah sudah diambil Tuhan?

‘Kalau bener, aku akan jadi santri terakhir yang tau bahwa Abah sudah kepundut’

Sesalku dalam hati.

Aku lemas, bahkan sholawat fatih yang terus kubaca tadi terhenti. Aku merasa sangat durhaka, aku berusaha recall memory kapan terakhir melihat wajah Abah. Jawabannya ada di subuh kemarin. Abah seperti biasa menjadi imam santri-santrinya. Suaranya lembut seperti biasanya, doanya tenang, dan berjalan pelan penuh kewibawaan. Tapi, aku tidak puas. Karena pagi itu aku hanya melihat sosok Abah Rosim, tanpa melihat wajahnya langsung. Saat Abah meninggalkan pengimaman menuju ndalem nya, aku tidak sempat mendongak melihat cerahnya wajah beliau. Aku tertidur pulas selesai doa sambil duduk bersila. Astaga. Aku ini santri apa???

Aku menyesal.

Bahkan, aku yang paling terakhir tau di sini. Dari sekian banyak santrinya, aku tertidur pulas saat yang lain merapalkan doa keras-keras agar keajaiban datang pagi kyai kami saat itu.

Aku mulai merasakan pipiku hangat, tetes demi tetes air dari pelupuk mata jatuh. Aku sengaja tidak membendungnya. Hanya melamun membayangkan kenangan bersama Abah selaama aku nyantri di Al Barokah. Meski tidak banyak cerita, setidaknya aku punya.

Ya Allah, kenangan pribadi bersama beliau memang sedikit, tapi jangan buat aku lupa. Sedikit, dan jadikanlah kenangan itu abadi”

“Mbak, saget nggarangke jadah mboten? Ngangge abahe. Niki jadahe, dibakar ngangge teflon mawon.” Suara Ibu Nyai Rosim tiba-tiba menyambarku yang baru saja turun dari tangga kayu komplek El Hawa. Kaget, aku langsung merespon beliau dengan menghampiri beliau dan menerima jaddah yang ia sodorkan.

“Iki yo Mbak, ditunggu Abahe”

Saat itu aku santri baru, Ibu belum hafal namaku. Asal memanggil Mbak saja. Aku juga belum familiar dengan peralatan dapur di ndalem. Apalagi selama di rumah aku ga pernah masak. Carannya gimana nih? Batinku bingung.

Merespon kebingunganku, Ibu mengajari sekilas dengan memasangkan teflon di atas kompor, menyalakan apinya dan membubuhi permukaan teflon dengan sedikit minyak. Biar gak gosong banget katanya.

“Nggih Buk” jawabku tunduk.

Aku mulai memanggang jaddah (read: nama makanan khas Jogja yang terbuat dari ketan yang dipadatkan, dipotong menjadi kotak-kotak. Biasanya dipasangkan dengan tempe bacem). Lebih tepatnya mengoreng tanpa minyak sih~ anggap saja dibakar. Hmm~

Karena kurang lihai membolak-balik dan memperkirakan kematangan, jadah 4 potong itu gosong. Aku panik. Astaga, santri bodoh banget ini! Aku panik setengah mati, mematikan api kompor dan buru-buru mengangkat jadah tersebut ke piring. Aku bingung harus bilang apa ke Bu Nyai, ini permintaan Abah tapi malah gosong, mana jadahnya gada lagi L

“Mbak, sampun dereng?” Ibu datang dari ndalem.

PASRAH SUDAH.

“Buk, tapi niki ngapunten kados niki.” Sambil kutundukkan wajah dalam-dalam. Malu dan sangat merasa bersalah, sekaligus takut bukan main. Bu nyai kaget, aku yakin beliau ingin marah. Mendesah kuat seperti ingin memearahi tapi ditahan karena tau aku masih santri baru.

Abah keluar. Jantungku semakin seperti roller coaster.

“Bah, niki jadahe geseng tapi Bah.” Lapor Ibu.

“Orapopo Mbak, aku malah seneng jadah geseng.” Jawab Abah Rosim santai. Mengambil jadah dalam piring yang sedang dipegang Ibu, dan melenggang kembali masuk ke rumah. Ibu tertawa, entah kenapa. Aku bingung, masih bercampur perasaan bersalah setengah mati!

“Gakpopo Mbak, matursuwun nggih” Ibu mengakhirinya dengan tersenyum dan mempersilakanku pergi sambil menyodorkan telapak tangannya. Aku salim mencium tangan beliau sambil berkata minta maaf lagi.

Aku tau, itu kenangan yang mungkin tidak mengenakkan. Tentu bagi Abah. Aku juga yakin, mana ada yang mau makanan gosong? Kenapa Abah tidak memarahiku saja saat itu? Abah, kau terlalu lembut sampai marahpun kau tak sampai. Kelembutan, ketenangan, kebijaksanaan, sekaligus ketegasanmu akan selalu kami rindukan Bah. Rapalan doa tak henti-hentinya diberikan untukmu. Terimakasih sudah menjadi mutiara hidupku selama ini. Setidaknya selama 4 tahun menjadi santri di rumahmu.

“Nik, ayo bantuin nyari kain tapih buat mandi Abah.” Ajak Mbak Ihwa membangunkan lamunanku. Pipiku banjir, ingusku deras mengalir. Buru-buru aku lap dengan kerudung. Gak peduli kotor atau jorok. Aku berdiri mengikuti Mbak Ihwa, meninggalkan cerita kenanganku bersama Abah yang tidak seberapa.

FIN

Kutulis untuk memperingati HAUL ABAH yang ke-1 pada 18 Januari 2020 lalu. Sayang sekali aku tidak bisa turut hadir, hanya ini yang bisa kutulis untuk mengenang 1 tahun kepergian beliau :”