How to Deal My Acnes (A Brief History of My Acnes)

Apa sebenarnya standar kecantikan seorang wanita?

Kenapa harus ada standar tersebut?

Haruskah wanita “di bawah standar” selalu menjadi bagian nomor dua?

Bagaimana bisa wanita selalu dideskritkan sebagai perhiasan yang harus selalu indah dipandang jika Tuhan sendiri menciptakan manusia berbeda-beda jenis, dengan segala bentuk fisik yang beragam?

Dear myself, menjadi wanita sudah menjadi anugerah terbesar dalam hidupmu. Tidak terkecuali tentang apa yang menempel pada dirimu sekarang tanpa bagaimana orang lain menempelkan sebuah predikat apapun tentang dirimu.

Baiklah, hari ini akhirnya aku menuliskan sebuah pengakuan tentang bagaimana kepercayaan diriku direnggut oleh sebuah beruntusan-beruntusan merah yang menempel pada bagian ter-esensial dalam tubuh seorang wanita yaitu wajah. Setelah melewati panjangnya perenungan, aku menyadari bahwa wanita ternyata memiliki standar tinggi yang harus ia capai untuk menjadi seseorang yang bisa berdiri di depan (read – percaya diri). Termasuk soal fisik dan penampilan. Aku sendiri tumbuh sebagai perempuan yang tidak cantik-cantik amat. Sebuah wajah standar yang tidak pernah kudengar ada yang mengolok-olok aku jelek maupun memuja-muja karena aku cantik. Flat. Manusia-manusia lawan jenis di sekelilingku juga tidak sampai berlomba-lomba mendapatkan perhatian dariku seperti yang biasanya terjadi pada perempuan-perempuan dengan paras bak malaikat. I am not that girl. Aku juga bukan perempuan dengan suara emas yang bisa meluluhlantahkan pertahanan seorang lelaki hanya dengan mengeluarkan suara yang lembut dan menyejukkan. Trust me, i just a common girl. Tidak lebih dari biasa saja. Bahkan seperti yang sudah aku katakan, banyak benjolan-benjolan kecil yang harus aku rawat pada wajahku agar tidak kemudian berkembang biak dengan amat masiv.

Iya, bagaimana? Aku memang cewe jerawatan yang keliatannya tak pernah cuci muka?

Dulu, sebelum aku jerawatan (separah sekarang) wajahku norma-normal saja walaupun tidak semulus pantat bayi. Tidak se-glowing artis korea atau seputih bintang iklan facial foam yang sering bersliweran di TV. Aku juga bukan tipe yang begitu peduli tentang perawatan, asalkan bersih tak usah aku tambahkan berbagai macam obat untuk merawatnya. Tak perlu berkilau atau glowing dan cerah cukup tidak berminyak dan tidak bikin pucat aku sudah cukup selamat. Sebagai seorang gemini dan bergolongan darah B yang cuek dan tak pedulian, aku tidak pernah peduli bagaimana orang lain menganggap jerawat adalah masalah yang serius. Sampai pada akhirnya hal tersebut menimpa diriku sendiri 1 tahun terakhir. Entah bagaimana mulanya dan apa penyebab pastinya, tiba-tiba satu persatu makhluk bernama jerawat ini mulai menjadi teman sepanjang hari-hariku. Awalnya karena tidak merasa menganggu, aku tidak peduli hanya dengan olesan salep jerawat besoknya sudah mulai mengempes dan mengering.

Entah bagaimana mereka datang bertubi-tubi dan pertanyaan orang-orang like

“Ya Allah kok kamu jerawatan si sekarang?”
“Loh kamu pakai skincare apa si kok bisa sampai begini?”
“Kamu coba-coba pakai makeup yang salah ya sampai jadinya begini?”
“What happened with your face?”
“Eh coba deh obat ini”
“Coba kamu kalau keluar pakai masker makanya, pakai sunscreen, terus rajin cuci muka biar bersih terus”

Daaaaaaan serentetan komentar panjang tentang perubahan wajahku yang sepertinya mengejutkan.  Sialnya kemudian membuat aku menjadi sangat malu dengan wajahku. Aku benci pada diriku dan aku benci kepada mereka yang berkomentar seolah-olah aku sudah tidak lagi menjadi biasa saja bahkan, tapi menjadi monster yang jelek. Aku mencoba mencari tau penyebab munculnya jerawat dari hal terkecil dan kebersihan lingkungan. Menurut sebuah artikel, jerawat bisa muncul karena kurang menjaga bantal tidur yang sarungnya sebaiknya rajin diganti. Damn! i do it! I always do it every 1 week. Malah teman sekamar yang demi Tuhan tidak pernah ganti dari sejak awal baik-baik saja wajahnya. Heyyy apa salahku??? Bahkan sebelum jerawatanpun aku rajin membersihkan wajah setiap pagi setelah bangun tidur dan sebelum tidur. What the hell with my roomate who never washed her face but she never got the acnes?

Ratusan kali aku harus mencari video-video review produk skincare yang cocok untuk kulit berjerawat. Kukorbankan uang jajan demi membeli produk-produk sialan itu dan dengan rajin merawat wajahku dengan berbagai produk tersebut. Sial juga, tak mempan tak juga membaik. Butuh waktu untuk menerima. Butuh hati setebal benteng untuk tidak peduli dengan tanggapan orang. Butuh telinga yang tuli untuk mendengar bagaimana wajahku menjadi sasaran empuk para reseller MLM sebuah produk kecantikan. Orang-orang tidak menanyakan bagaimana how to deal this problem? Orang-orang tidak menyarankan bagaimana aku menerima diri sendiri. Mereka sibuk dengan bagaimana harus menghilangkan “cacat fisik” ini tanpa peduli ada hati dan mental yang juga harus dirawat. Orang-orang tidak pernah bertanya ada masalah psikis apa yang aku hadapi sampai hormonku berubah-ubah tak normal dan berimbas pada wajahku? Orang-orang tidak pernah menanyakan apakah aku baik-baik saja? Iya, sekali lagi karena mereka tidak peduli. Yang dipedulikan hanya standar kecantikan seorang perempuan adalah seperti ratu, tanpa cela, kulit selembut pantat bayi dan ya baiklah yang tidak pernah bosan dipandang. Padahal aku percaya The most sexiest part of girl is her brain. Tapi rasanya tidak berlaku bagi orang lain, mereka memandang wanita hanya perlu cantik 🙁

Mungkin hampir setahun aku sudah menjalani perawatan skincare mandiir hingga skincare dari klinik kecantikan. Jerawatku berangsung-angsur membaik, hanya perlu menghilangkan beberapa bekas, walaupun tidak sedikit juga. Perlu kesabaran ekstra, perlu kelapangan dada yang luas. Tapi toh, waktu juga berlalu dengan sendirinya. Lama kelamaan, omongan orang tentang perubahan wajahku yang mungkin jadi amburadul ini sudah tidak terlalu difikirkan. Walaupun masih banyak insecurity yang muncul, terkadang.

Dear orang-orang yang berkomentar, atau bahkan teman-teman yang mungkin sebenarnya perhatian denganku, atau dg wajahku. Terimakasih, mungkin tanpa adanya komentar dari kalian, aku tidak sampai pada penerimaan diri sendiri sebesar ini.

Dear myself, kamu cantik apapun yang kamu lakukan bahkan kamupun jelek apapun yang kamu tampilkan, tapi kamu tetaplah kamu yang kamu cintai. 🙂

Fin,