MENILIK DIRI #1

Aku belajar banyak hal dari yang pernah Abah Mukhlas katakan sewaktu aku masih mondok di Al Hikmah 2. Beberapa tahun yang lalu, tepatnya lupa tapi aku masih ingat betul apa yang beliau sampaikan waktu itu di kelas mata pelajaran Aqidah Akhlak yang beliau ampu. Kelas berapa ya? Aku benar-benar lupa. Intinya begini kata beliau

“Orang berakhlak tidak pasti mereka yang hafal Al Qur’an, suaranya bagus, pandai bersholawat, pandai membaca kitab kuning, fasih berbahasa Arab, lancar berceramah, atau menguasai ilmu agama. Kalian juga bisa jadi orang yang berakhlak. Yang terpenting adalah akhlak dan menjadi orang baik. itu jauh lebih susah dibanding menjadi seorang ahli di bidang sesuatu.”

Waktu itu, kelasku nampaknya sedang memunculkan aura kecemburuan pada mereka yang berada di kelas Keagamaan sekolahku yang setiap hari berkutat dengan ilmu agama, menghafal Al Qur’an, bercakap dengan bahasa Arab, dll sebagai bekal seorang santri di masyarakat, sebagai bekal layaknya seorang yang pernah mondok di pesantren. Sedangkan kelasku adalah kelas di program Unggulan IPA Imersi yang merupakan spesialis ilmu alam, ilmu dunia, yang ingin dicetak menjadi generas-generasi dengan banyak piala olimpiade, masuk ke universitas-universitas negeri favorit dengan jurusan favorit. Waktu itu, aku dan sebagian banyak teman-teman sekelas merasa sangat iri, kepada mereka yang lebih pandai di ilmu agama, sedangkan ilmu kami belum tentu bisa diterapkan untuk masyarakat dan akhirat kita. Waktu itu, iya waktu itu, kami belum faham betul sebenarnya apa yang akan menjadi bekal sesungguhnya di masyarakat, maupun apa yang akan dibawa mati. Memangnya sekarang sudah tau? Yuk kita bahas bersama-sama.

Sesaat setelah Abah Mukhlas berkata demikian, seisi kelas terdiam. Merenungkan, kira-kira banyak juga yang membulatkan bibirnya serta mengangguk menyetujui. Ada rasa kelegaan tersendiri di ruang hati saat itu. Termasuk aku sendiri. Mengingat menjadi orang baik bukanlah perkara yang mudah. Baik dalam hal apa? Baik dalam segala hal.

Definisi baik memang sangat relatif, sangat sensitif bahkan. Setiap orang menganggap orang lain baik selain berdasarkan norma-norma yang berlaku pasti memiliki kesubjektifan masing-masing yang tidak bisa kita ungkit. Pernah kita mengira seseorang yang belum terlalu dikenal adalah seseorang yang baik tapi ternyata dibalik sikap baiknya ada sikap buruk yang lebih besar? Sifat yang sangat menyebalkan mungkin. Misalkan suka mencela orang lain.

Setelah menjalani masa kehidupan dengan banyak orang dan bertemu banyak mata dan fikiran, sikap dan sifat, gestur dan mimik, semuanya. Perkataan Abah justru semakin teringat tajam. Bagaiamana bisa orang seperti itu punya perangai yang tak aku sukai? Yaa kadang (eh seringkali) aku suka berfikiran seperti itu. Atau sebaliknya. Oh Tuhan, ternyata dia sebaik itu.

Aku adalah pengamat yang baik. aku adalah tipe yang lebih suka mengamati dibanding ikut campur, membatin diri sendiri, membuat kesimpula baru, menjadikannya sebuah pelajaran hidup. Sangat menarik ternyata hidup dengan cara seperti itu. Meski jarang sekali menjadi pemeran utama dalam sebuah cerita, aku sangat menikmati, dan bahkan aku bisa menebak bagaimana akhirnya jika seperti ini, itu, blah, blah, karena terlalu sering mengamati. Itu yang menjadikanku terkadang sok tahu di beberapa celah dan sudut peristiwa. Hehe. Its oke, itu hak orang yang tak pernah masuk dalam sebuah cerita.

Mungkin kita menganggap orang yang belajar Agama, hidup di pesantren, menghafal Al Qur’an, banyak sholat sunnah dan sholat malam, rajin berdzikir, dll adalah mereka yang tingkat ilmu dan akhlaknya tinggi. But who knows? Di luar yang kita tahu, ternyata mereka saking tidak suka dengan kucing sampai tega melempar kucing hingga mati, atau melemparinya dengan kuah sayur dengan kasar. Atau misalnya ternyata mereka adalah penghianat sahabatnya. Who knows? Ketika kita melihat satu sisi baiknya, sebenarnya 99 sisi yang lain itu tidak kita lihat juga. Hehe (ini ngomong apa sih ya?)

Atau sebaliknya,

Ketika kita melihat mereka yang setiap hari kerjaannya nonton drama korea (eh? Nyindir siapa nih?wkwk), atau mereka yang sukanya main-main, bukan yang taat beragama. But who knows? Mereka mungkin saja setiap hari meluangkan waktunya untuk mengajar membaca anak-anak jalanan, menyisikan uang jajan untuk diinfaqkan ke masjid, atau yang tidak pernah berkata kasar kepada teman-temannya.

Aku tidak bermaksud untuk mengajak bersuudzon atau berhusnudzon secara berlebihan. Jika kita bertemu dengan mereka yang seakan-akan sempurna, atau mereka yang seakan-akan serba salah, cukup biasa saja dan dimaklumi, yakini saja semua orang pasti punya sisi hitam dan putihnya. Kita boleh saja membenci keburukan yang orang lain lakukan, tapi ingat-ingat juga kebiakannya, begitu pula sebaliknya. Nah ini dia yang paling susah! Apa kamu sudah bisa melakukannya? Mari bersama-sama kita lakukan, termasuk aku yang sifat suudzonnya lebih banyak dibanding husnudzon.

Seperti sekarang ini, aku sedang mengagumi seseorang, karena yang terlihat kini ia adalah sosok yang sangat sempurna, oke di bidang agama, berparas tampan, sesuai tipe, woahhh daebak! Sangat manis (astaghfirullah apa sih Nyik?). bahkan terkadang aku suka menCeritakan kelebihan-kelebihannya di depan teman-temanku, padahal aku sama sekali tidak kenal dia, kenal nama saja, apalagi dia? Mungkin namaku saja tidak ia kenal. Wkwkwkwk

Sebaliknya, aku juga sedang benci dengan beberapa seseorang yang kuanggap sikapnya melewati batas, beberapa sikapnya yang menyebalkan, perkataannya, duh tidak usah diceritakan, nanti jadi Ghibah hehehe~~~

Tapi aku sedang belajar, belajar bagaimana aku bisa menyadari pasti ada kekurangan dan kelebihan di setiap orang yang aku suka dan aku benci. Pada intinya aku tidak boleh berlebihan dalam menilai seseorang. Termasuk kita, iya kita.  PR kita adalah bagaiamana menjadi seseorang yang baik? apa yang sudah kita lakukan sampai sekarang dianggap baik pula oleh orang lain?

Jawabannya?

TBC PART#2

Tulisan ini didedikasikan untuk muhasabah diri sekaligus mendukung gerakan #1hari1post #RamadhanMalhikdua bersama malhikdua.com

Selamat menulis kembali jiwa-jiwa yang rindu kata-kata 🙂