Ambil Hikmahnya Saja

Mungkin ini sudah basi yaa, tentang kasus penistaan agama okeh Ahok. Hehehe. entah kenapa saya ingin mempost tulisan tentang itu. Sebenarnya sudah ditulis sudah lama. Bahkan saya lupa pernah bercerita tentang hal tersebut di lembar words saya. waktu lagi iseng-iseng merapikan file menemukan file tulisan ini begitu saja. yaaa lumayan lah, bisa untuk isi isi blog ini yang sudah lama dianggurin wkwk. Simak yaa, barangkali mau berkomentar juga :))

Ambil Hikmahnya Saja

Setelah Demo 4 November lalu, kemudian disusul aksi 2 Desember kemarin, aku masih menyimpan pertanyaan untuk diri sendiri. Ini tidak ada kaitannya dengan Ahok, pembelaan kepada beliau, pembelaan kepada pihak manapun. Ini persoalan yang menyinggung hati nurani sendiri. Pertanyaan ini muncul setelah menjelajahi media, jejak pendapat, sampai kepo timeline para tokoh dengan hashtag #AksiDamai #BelaQur’an dsb. Seheran-herannya, saya masih memikirkan siapa yang kemudian akan menjawab pertanyaan : “Apa benar iman saya tidak tergugah?”

Saya bukan orang yang apatis dengan politik, bukan juga yang fanatik, biasa-biasa saja, netral-netral saja, karena sejatinya dalam Islam pun mengenal politik. Politik pun dibutuhkan untuk keperluan manusia, dalam melaksanakan tugasnya, dalam mencapai tujuannya. Tentunya dengan jalan-jalan politik yang dibenarkan. Namun, sejak kasus Pak Ahok yang dinilai melecehkan Al Qur’an dengan perkataannya : “Jangan mau dibodohi PAKAI ayat Al Qur’an”, saya kok merasa biasa-biasa saja. Bahkan ketika sebelum kata PAKAI yang dihilangkan terungkap, saya merasa biasa-biasa saja. Apa saya tidak merasa memiliki Al Qur’an? Sebenarnya pertanyaan-pertanyaan tersebut yang menjadi persoalan besar menyangkut kejadian besar Indonesia ini. Namun saya bersyukur, akhirnya ada kesempatan saya mengintrospeksi diri.

Terlepas dari pandangan saya tentang mengapa Ahok sampai mengatakan “Jangan mau dibodohi PAKAI ayat Al Qur’an”, polemik memilih pemimpin non Muslim, pendirian negara Islam di Indonesia, dan segala hal yang terkait dengannya. Terlepas dari itu semua, saya hanya ingin memberikan pendapat saya tentang apa yang dimaksud membela Al Qur’an, bagaimana konteks menjaga Al Qur’an itu sendiri, memaknai Islam yang rahmatallil’alamiin, sampai hal yang paling menyinggung : Golongan mana? Tentu ini dalam rangka mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku di atas.

Perlu digaris bawahi, pertanyaan “Apa benar iman saya tidak tergugah?” itu sangat tersulut setelah banyak sekali yang memberikan spekulasi dari para peserta demo : “Yang tidak setuju dengan Aksi 212 tidak tergugah imannya!” dengan berbagai macam cara penyampaian, pola kalimat, dsb yang intinya menyinggung hal iman siapa yang ikut dan tidak ikut, siapa yang mendukung dan tidak mendukung. Apa benar yang tidak ikut, tidak mendukung gerakan seperti itu, adalah golongan yang hatinya tidak tergerak untuk turut membela Al Qur’an? Sebenarnya apa maksudnya? Bahkan setelah saya membaca banyak (tidak hanya satu dua dari para calon demonstran/yang sudah ikut demo kemarin) komentar tersebut, amarah saya kok memuncak. Ada rasa yang lebih tergugah. Ada rasa tersinggung yang seharusnya harus tetap anteng dalam sangkarnya.

Saya memang tidak setuju adanya demo dari tanggal 4 November kemarin maupun demo 2 Desember. Alasan pertama : saya manut guru saya. Menyadari bahwa  diri ini adalah seorang yang fakir ilmu, masih jauh dari kata pintar, saya hanya bisa meniru apa yang Guru saya katakan serta menyerap alasan-alasan beliau kemudian menyimpulkan sendiri untuk alasan yang lebih menguatkan. K.H. Rosim Al Fatih, Lc – Pengasuh PP Al Barokah Yogyakarta, K.H. Aqil Siradj- Ketum PBNU, K.H Mahfudz MD – Mantan Ketua MK, Gus Nadirsyah Hosen-Ketua PCNU Australia, Gus Yusuf Chudlory-Pengasuh PPAI Tegalrejo, K.H Musthofa Bisri, Mbah Maimoen, dll. Adalah panutan saya dalam mengerjakan sesuatu. Bukannya saya tidak menjadikan Nabi sebagai panutan pertama. Jangan salah Ukhty, Akhy, mereka adalah guru yang mempunyai rantai ilmu sampai ek Kanjeng Nabi. Karena saya sadar tidak bisa menyerap Al Qur’an sendiri, menafsirkan sendiri, berijtihad sendiri, maka saya memilih untuk menjadi Muqollid (asal ngikut ulama walaupun tanpa tahu dalil). Saya tidak berani sembarang mengumbar ayat atau hadits kemudian saya arti-tafsirkan bebas sesuai yang ada di terjemah Al Qur’an, karena sekali lagi saya adalah hanya santri yang jauh dari kata MUJTAHID.

Mengikuti mereka (ulama) yang tidak ikut-ikutan demo, sudah sangat cukup untuk menolak ajakan berdemo dengan alasan membela Al Qur’an yang sudah dilecehkan Ahok #Katanya. Dan yang paling penting adalah menuntut Ahok (SI Penista Al Qur’an) di proses secara hukum, dan dipenjarakan. Apapun tujuannya, saya lebih memilih berdoa di rumah, atau berdoa bersama dalam sebuah majlis ilmu, yang dipimpin oleh ulama, mendoakan NKRI agar selalu damai, tidak terpecah belah, selalu mendapat perlindungan Allah, bahkan memasrahkan kepada Allah mengenai kasus Ahok ini. Tentunya karena kita berada dalam sebuah negara yang sah, maka kita berkewajiban mematuhi semua prosedur bernegara termasuk proses hukum yang ada. Negara ini sudah memiliki aparat hukum, dan jajarannya. Maka, ketika kita bukan siapa-siapa yang pantas dalam ranah tersebut, maka sebaiknya serahkan pada mereka. Percayakan kepada mereka yang sudah menjadi tanggungannya untuk menyelesaikan masalah ini. Ini yang menjadi alasan kedua.

Rasanya 2 alasan di atas sudah sangat cukup, kenapa saya memilih untuk tidak setuju dengan demo. Poin pentingnya adalah karena masih ada hal yang lebih baik dilakukan : Berdo’a, melakukan amalan-amalan yang dianjurkan ulama, dicontohkan Nabi, bahkan saya sebagia mahasiswa berfikir lebih baik belajar yang lebih giat, ngaji yang rajin, berakhlak yang baik sebelum waktunya tiba kita menjadi orang-orang yang diberikan wewenang memberikan kebijakan-kebijakan.

Dari hanya beberapa alasan di atas, pertanyaan “Apa benar iman saya tidak tergugah?” masih mencari jawabannya. Ini adalah proses, dan saya bersyukur, kasus Ahok mengajarkan kepada saya banyak hal : toleransi, menghargai pendapat orang lain, bersabar, dan semangat belajar banyak hal baru lagi.

Sekian,

Dari sang fakir ilmu :”